Sekaten: Warisan Hindu-Buddha yang Berpadu dengan Islam

X
Share

Sekaten adalah salah satu tradisi budaya yang unik di Indonesia, khususnya di wilayah Jawa. Tradisi ini merupakan bagian dari perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW dan biasanya berlangsung selama tujuh hari. Namun, di balik nuansa Islam yang kental, Sekaten memiliki akar sejarah yang lebih tua, berasal dari tradisi Hindu-Buddha di Nusantara yang kemudian diadaptasi dalam konteks Islam.

Asal Usul Sekaten

Kata “Sekaten” diyakini berasal dari kata Arab “Syahadatain”, yang berarti dua kalimat syahadat. Dua kalimat ini merupakan inti dari keimanan seorang Muslim, yaitu pengakuan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Namun, sebelum menjadi bagian dari dakwah Islam, Sekaten sebenarnya memiliki akar dalam tradisi Hindu-Buddha yang berkembang di Jawa sebelum masuknya Islam.

Pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, masyarakat Jawa sering mengadakan upacara besar-besaran untuk memperingati peristiwa penting, seperti panen raya, ritual keagamaan, atau peringatan hari besar kerajaan. Ketika Islam mulai masuk ke Nusantara, tradisi ini tidak sepenuhnya dihilangkan. Sebaliknya, para wali, khususnya Sunan Kalijaga, menggunakan tradisi tersebut sebagai sarana untuk menyebarkan ajaran Islam dengan pendekatan yang lebih halus.

Peran Wali Songo dalam Islamisasi Sekaten

Wali Songo, yang merupakan sembilan tokoh penting dalam penyebaran Islam di Jawa, memiliki peran besar dalam transformasi tradisi Hindu-Buddha menjadi tradisi Islami. Sunan Kalijaga, salah satu anggota Wali Songo, dikenal sebagai tokoh yang memadukan seni dan budaya lokal dengan nilai-nilai Islam.

Dalam konteks Sekaten, Sunan Kalijaga menggunakan media gamelan untuk menarik perhatian masyarakat. Gamelan, yang merupakan alat musik tradisional Jawa, dimainkan untuk mengiringi prosesi Sekaten. Lagu-lagu yang dimainkan mengandung syair-syair Islami, sehingga masyarakat secara tidak langsung mengenal ajaran Islam melalui medium budaya yang sudah akrab bagi mereka.

Tradisi dan Makna Sekaten

Prosesi Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat gamelan pusaka, yaitu Gamelan Kyai Nogowilogo dan Gamelan Kyai Gunturmadu, dari Keraton Yogyakarta atau Surakarta. Gamelan ini dimainkan di halaman Masjid Agung selama tujuh hari berturut-turut. Selama prosesi ini, masyarakat datang untuk mendengarkan gamelan, berdoa, dan menyaksikan berbagai kegiatan budaya, seperti pasar malam.

Pada puncak acara, dilakukan tradisi “gerebeg” yang melibatkan pembagian gunungan, yaitu hasil bumi yang disusun dalam bentuk kerucut. Gunungan ini melambangkan keberkahan dan kemakmuran. Masyarakat yang hadir berlomba-lomba mengambil bagian dari gunungan tersebut, yang diyakini membawa berkah.

Transformasi Nilai Budaya

Sekaten mencerminkan bagaimana tradisi lokal dapat bertransformasi dengan masuknya agama baru. Alih-alih menghapus tradisi lama, para penyebar Islam di Jawa memilih untuk mengislamisasi tradisi tersebut, sehingga nilai-nilai Islam dapat diterima secara luas oleh masyarakat.

Hingga saat ini, Sekaten tetap menjadi perayaan yang dinanti-nanti oleh masyarakat Jawa. Meski berakar dari tradisi Hindu-Buddha, nilai-nilai Islami yang ditanamkan dalam prosesi ini telah menjadikan Sekaten sebagai salah satu simbol akulturasi budaya yang harmonis di Indonesia.

Sejarah Sekaten adalah bukti bahwa budaya dan agama dapat berinteraksi dengan cara yang saling memperkaya. Dalam prosesnya, tradisi ini tidak hanya mempertahankan aspek-aspek kearifan lokal, tetapi juga memberikan ruang bagi penyebaran ajaran agama secara damai dan penuh toleransi. Dengan demikian, Sekaten tidak hanya menjadi warisan budaya, tetapi juga cerminan dari semangat inklusivitas yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia.