Siapa sangka, di balik sejarah besar Pangeran Diponegoro yang dikenal dengan perlawanan sengit terhadap penjajahan Belanda, ada sebuah drama yang melibatkan konflik keluarga dan hubungan antara Sultan Yogyakarta dan mertua sang pahlawan. Kisah ini, yang mungkin terdengar lebih seperti plot sinetron sejarah, terjadi pada abad ke-19 dan mencerminkan ketegangan internal yang memengaruhi perjalanan besar perjuangan Indonesia.
Awal Mula Ketegangan Keluarga
Pangeran Diponegoro adalah sosok yang sangat dihormati dalam sejarah Indonesia, dikenal karena peranannya dalam Perang Jawa (1825-1830). Namun, dalam kehidupan pribadinya, Diponegoro memiliki hubungan yang cukup rumit dengan keluarga kerajaan Yogyakarta. Salah satu sumber ketegangan besar adalah mertuanya, Sultan Hamengkubuwono VI.
Sultan Hamengkubuwono VI adalah sosok yang sangat berpengaruh dalam sejarah Yogyakarta, tetapi perbedaan pandangan politik antara beliau dan menantunya, Pangeran Diponegoro, semakin memunculkan masalah. Ketegangan ini bermula dari ketidakpuasan Diponegoro terhadap kebijakan Sultan yang lebih pro-Belanda. Hubungan ini semakin memburuk, hingga akhirnya Sultan merasa terpojok oleh Pangeran Diponegoro yang semakin berani menentang kekuasaannya.
Sultan Yogyakarta Meminta Bantuan ke Belanda
Puncak dari ketegangan ini terjadi ketika Pangeran Diponegoro secara terbuka menentang Sultan Hamengkubuwono VI dalam berbagai hal, terutama terkait dengan posisi Belanda yang semakin kuat di Yogyakarta. Sultan yang mulai merasa terancam dan tak bisa lagi mengatasi ketegangan dalam keraton, akhirnya meminta bantuan kepada pihak Belanda.
Sultan Yogyakarta, yang merasa pusing menghadapi mertua yang semakin mengancam stabilitas keraton, akhirnya memilih untuk bekerjasama dengan penjajah demi menjaga kekuasaannya. Belanda, yang tentunya tidak menyia-nyiakan kesempatan, mulai ikut campur dalam urusan internal Yogyakarta. Ini menjadi salah satu momen paling kontroversial dalam sejarah kerajaan Yogyakarta, di mana pengaruh Belanda semakin kuat, dan Sultan merasa tidak punya pilihan selain bersekutu dengan penjajah.
Dampak dari Keputusan Sultan
Keputusan Sultan Yogyakarta untuk bekerja sama dengan Belanda tentu saja tidak berjalan mulus. Di satu sisi, Sultan berhasil mengatasi ketegangan yang terjadi di dalam keraton, tetapi di sisi lain, keputusan tersebut memperburuk hubungan antara keluarga keraton dan rakyat Yogyakarta. Banyak kalangan, terutama para bangsawan dan rakyat biasa, yang merasa kecewa dengan keputusan Sultan yang justru mengandalkan Belanda untuk menyelesaikan masalah internal.
Sebagai akibatnya, Pangeran Diponegoro semakin merasa terasing dan semakin menjauh dari keraton. Ia tidak hanya menentang Sultan, tetapi juga mulai membangun dukungan di kalangan rakyat untuk melawan Belanda secara terbuka.
Perang Jawa dan Legasi Diponegoro
Ketegangan keluarga ini akhirnya menjadi salah satu pemicu bagi Pangeran Diponegoro untuk melancarkan Perang Jawa yang terkenal. Pada tahun 1825, Diponegoro mengangkat senjata melawan Belanda, yang menganggapnya sebagai ancaman besar. Perang yang berlangsung selama lima tahun ini menewaskan banyak orang dan berakhir dengan kekalahan Diponegoro, tetapi semangat perlawanan yang ia tanamkan tetap hidup dalam sejarah perjuangan Indonesia.
Penutup
“Drama mertua” ini mungkin terdengar kocak jika dilihat dari sudut pandang modern, namun pada masa itu, konflik keluarga ini memiliki dampak yang besar terhadap jalannya sejarah Indonesia. Ketegangan antara Sultan Yogyakarta, Pangeran Diponegoro, dan Belanda adalah bagian dari perjalanan panjang yang mengubah nasib bangsa. Sebuah kisah yang membuktikan bahwa bahkan dalam sejarah besar sekalipun, tak jarang ada intrik dan drama yang memengaruhi jalannya peristiwa.
Meskipun akhirnya Sultan Yogyakarta bekerja sama dengan Belanda, kisah ini mengingatkan kita bahwa dalam sejarah, kekuasaan sering kali datang dengan harga yang tinggi, dan hubungan keluarga bisa saja mengubah arah peristiwa yang jauh lebih besar.