Di bawah langit yang muram, Kerajaan Pajajaran bersiap untuk bertempur. Di kejauhan, ribuan prajurit berbaris dengan senjata di tangan, siap menerjang lawan. Namun, ada satu hal yang membuat pasukan ini berbeda dari yang lain—gajah-gajah perang yang gagah berani, yang menjadi simbol kekuatan tak tertandingi Pajajaran.
Pemimpin mereka, Prabu Siliwangi, berdiri di atas singgasana kayu jati, mata tajamnya memandang ke arah tentara yang sedang berlatih. Di sampingnya, seorang jenderal tua yang penuh pengalaman, Ki Ageng, memberi laporan dengan suara serius.
“Prabu, pasukan musuh semakin mendekat. Namun, dengan armada kita yang terdiri dari ratusan ribu prajurit dan gajah-gajah perkasa, mereka tidak akan mampu menandingi kita,” kata Ki Ageng, sembari menatap lautan manusia dan gajah yang siap melawan.
Prabu Siliwangi mengangguk, namun sorot matanya menunjukkan sebuah rencana. “Aku tidak ingin mereka hanya takut. Aku ingin mereka tahu bahwa Pajajaran adalah kerajaan yang tak terkalahkan, bukan hanya karena jumlah atau kekuatan, tetapi karena keberanian kita.”
Ketika pagi pertama pertempuran dimulai, suara gendang perang menggema di seluruh lembah. Pasukan Pajajaran bergerak seperti ombak besar, dengan ribuan prajurit berjalan beriringan bersama gajah-gajah besar yang diperlengkapi pelindung logam. Pasukan musuh yang melihat pemandangan ini tak bisa menahan ketakutan. Gajah-gajah itu bukan hanya makhluk besar, mereka adalah simbol kekuasaan yang mematikan.
Di barisan depan, seorang prajurit muda bernama Wira memegang tombak dengan erat. Dia terpesona melihat gajah perang besar yang berjalan di sampingnya. Gajah itu, yang dikenal dengan nama Gajah Anggoro, memiliki tubuh kekar dan kulit abu-abu berkilau. Wira tahu, gajah ini bukan hanya kendaraan perang—ini adalah kekuatan yang bisa membalikkan nasib sebuah pertempuran.
Namun, meskipun Wira merasa bangga, dia juga merasa gugup. Di hadapannya, pasukan musuh terlihat lebih sedikit, namun mereka punya keahlian dalam bertempur yang tak bisa dianggap enteng. Wira menggigit bibir, berdoa dalam hati agar tidak ada yang terluka.
“Jangan takut, Wira!” teriak seorang prajurit senior di sampingnya. “Kita berjuang untuk tanah ini, dan tanah ini akan menjaga kita.”
Dengan komando yang tegas dari Prabu Siliwangi, pertempuran pun dimulai. Gajah-gajah menyerbu medan, kaki-kaki besar mereka mengguncang bumi, sementara para prajurit dengan berani melawan musuh. Namun, tiba-tiba, sebuah serangan mendalam dari musuh membuat gajah-gajah itu terancam.
Wira yang berada di barisan tengah melihat seorang gajah perang terjatuh. Dalam sekejap, ia berlari ke arah gajah itu, menebas pasukan musuh dengan keberanian yang luar biasa. “Gajah ini tak akan jatuh begitu saja!” teriaknya.
Dia memimpin beberapa prajurit untuk melindungi gajah yang terluka. Ketika pasukan musuh mencoba menyerang kembali, gajah-gajah lain datang dengan kekuatan dahsyat, menghancurkan barisan lawan.
Dengan berani, pasukan Pajajaran menggulung musuh satu per satu. Sebuah kemenangan gemilang tercatat dalam sejarah kerajaan ini, dan legenda gajah-gajah perang yang tak terkalahkan terus hidup dalam setiap cerita yang diceritakan turun-temurun.
Di bawah sinar matahari yang terbenam, Prabu Siliwangi menatap kemenangan di hadapannya. Pasukannya yang kuat, dipimpin oleh gajah-gajah perang yang gagah, telah membuktikan bahwa tidak ada yang lebih menakutkan daripada tekad dan keberanian kerajaan Pajajaran.
“Ini baru permulaan,” kata Prabu dengan senyuman penuh makna, saat dia menunggangi Gajah Anggoro, menatap cakrawala yang luas.